Langit dan Senja

  Disebuah bukit yang indah terdapat seorang gadis dengan blasteran Asia timur dan Asia tenggara. Gadis itu berparas cantik dengan, kulit yang berwarna putih kecoklatan. Ia berada di tempat itu untuk menikmati pemandangan bukit yang katanya sangat indah, 

 "Senja!" panggil seseorang yang sangat familiar ditelinga gadis itu. Eni, ibunya. ia memanggil Senja untuk mengajaknya makan Senja menoleh, melihat ibunya yang melambaikan tangan dari bawah bukit. Senyum lebar menghiasi wajahnya saat Eni mendekat. Meskipun sinar matahari mulai redup, kehangatan dan kasih sayang yang terpancar dari ibunya membuat suasana semakin indah. “Sudah berapa lama kamu di sini, Nak?” tanya Eni dengan nada lembut

 "Baru sebentar, Bu. Pemandangannya luar biasa," jawab Senja sambil menunjuk ke arah langit yang perlahan berubah warna menjadi oranye dan merah muda. Eni mendekat dan berdiri di samping Senja, menatap ke kejauhan. "Kau tahu, senja selalu mengingatkan kita untuk menghargai setiap momen. Seperti saat kita bersama sekarang," ujarnya dengan penuh makna. 

 Senja mengangguk, merasakan kebahagiaan yang sederhana. "Iya, Bu. Momen-momen seperti ini sangat berarti," balasnya. Setelah menikmati pemandangan beberapa saat, Eni menggenggam tangan Senja. "Yuk, kita makan. Aku sudah menyiapkan makanan favoritmu," ajaknya. Mendengar itu, Senja langsung bersemangat. "Wah, ada apa saja, Bu?" "Rahasia! Tapi pastinya enak," jawab Eni sambil tersenyum misterius. 

 Mereka berdua mulai menuruni bukit, tertawa dan berbagi cerita, menikmati kehangatan kebersamaan di tengah keindahan alam. Saat sedang berjalan matanya tertuju pada seorang pria yang sedang meniikmati pemandangan bukit. Pria itu refleks menoleh kearah Senja sambil menyunggingkan senyum tipis. lanjut pria itu bernama langit

Langit adalah seorang pemuda dengan aura tenang yang sangat kontras dengan semarak senja di sekitarnya. Ia mengenakan kaus berwarna gelap dan celana jeans, tampak santai namun penuh perhatian saat menikmati keindahan alam. Senja merasakan detak jantungnya sedikit meningkat saat pria itu menatapnya.

“Siapa itu, Senja?” tanya Eni dengan nada penasaran, menyadari perhatian putrinya yang teralihkan.

“Entahlah, Bu. Sepertinya dia hanya sedang menikmati pemandangan,” jawab Senja, berusaha menyembunyikan rasa penasaran yang semakin membara.

Langit masih berdiri di tempatnya, matanya kini tertuju pada Senja, seolah tertarik dengan kehadirannya. Senja berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi rasa ingin tahunya mendorongnya untuk mencuri pandang lagi.

“Kenapa tidak kau sapa saja?” Eni menyarankan, tersenyum penuh makna.

“Eh, sapa? Aku… tidak tahu harus bilang apa,” jawab Senja sambil merutuki dalam hati betapa canggungnya situasi itu.

Akhirnya, dengan sedikit keberanian, Senja melangkah maju, diikuti oleh Eni yang memberi dorongan halus. “Halo,” sapa Senja, suaranya sedikit bergetar.

Langit membalas sapaannya dengan senyum yang lebih lebar. “Halo. Pemandangannya memang luar biasa, ya?” ucapnya, suaranya tenang dan hangat.

“Iya, saya baru pertama kali ke sini,” jawab Senja, merasakan suasana semakin akrab.

"Senja, nama yang indah. Aku Langit,” ucapnya sambil memperkenalkan diri.

“Senja dan Langit. Sepertinya ini pertanda baik,” Eni berkomentar dengan nada menggoda, membuat Senja sedikit malu.

“Benar juga,” sahut Langit, lalu menambahkan, “Jadi, kalian berdua sering ke sini?”

“Baru kali ini, Bu Eni yang mengajak,” jawab Senja, melirik ibunya yang tersenyum bangga.

“Bagus sekali, saya harap kalian bisa datang lagi. Senja di sini selalu mengagumkan,” Langit berkata, matanya bersinar dengan antusiasme.

Momen itu seolah menggantung di udara. Senja merasakan ketertarikan yang tulus dari Langit, sementara Eni tampak senang melihat interaksi mereka.

“Kalau begitu, kami pamit dulu. Terima kasih sudah mengobrol, Langit,” Eni mengatakan sambil menarik tangan Senja.

“Semoga bisa bertemu lagi, Senja,” Langit menyapa dengan hangat, membuat Senja merasa sedikit bersemangat dan tersipu.

Setelah meninggalkan Langit, Senja tidak bisa menahan senyum di wajahnya. “Bu, dia baik sekali, ya?”

Eni menatap Senja dengan mata penuh pengertian. “Tentu, Nak. Terkadang, pertemuan tak terduga bisa membawa banyak makna.”

Mereka melanjutkan perjalanan menuruni bukit, dengan hati yang ringan, berbagi tawa dan cerita, sementara senja semakin indah di belakang mereka. Senja berbalik arah dan menatap Langit dengan penuh harap, "Aku boleh minta nomer kamu" ucap Senja dengan malu-malu

Langit menatap Senja keheranan lalu berkata, "Boleh saja, Senja" Langit kemudian memberikan nomer nya ia chatingan setiap hari.

Comments

Post a Comment

Popular Posts